by: Hana Berliani Adiningsih.
Jangan harap aku ingat seperti apa sapaan pertama yang kamu lontarkan, kapan pandangan kita beradu, atau bagaimanakah perbincangan perdana kita yang menjadi ucapan selamat datang di dunia masing-masing.
Karena aku tidak pernah berniat menyejarahkannya.
Apa yang kita sebut perkenalan bukanlah satu penjelasan formal dalam sekali tayang. Bukan sebuah penilaian dalam sekali tatap. Bukan pula sebaris kesimpulan dalam satu studi komprehensif.
Ada hal yang lebih krusial. Kita telah melampaui sesuatu yang lebih besar, dan membaur berkat sepaket perjalanan tak bernama, dimana setiap langkah kaki kita tertuju pada satu pengujung bernama keabadian. Dan aku seringkali memilih berjalan sendirian, agar leluasa memandangi punggungmu yang kuhapal tiap jengkal dan rusuknya tanpa perlu takut ketahuan. Sekaligus berjaga-jaga dari mara bahaya, aku hanya sanggup melindungimu dari belakang.
Proses mengenalimu adalah perjalanan panjang. Yang kuisi dengan mendengarkan dan mematuhi, bicara dan bercerita, serta menyimpulkan kisah-kisah dan alibi-alibi yang kamu sampaikan walau dalam bahasa sunyi. Aku terlalu mengetahuimu untuk berpura-pura tidak tahu. Terlalu mengenalimu untuk berpura-pura tidak mengerti. Terlalu memerhatikanmu untuk berpura-pura tidak peduli. Terlalu menyayangimu untuk berpura-pura memilih pergi.
Di tengah setapak ini, interaksi adalah kunci, yang kadang kita tukar dengan telepati. Mendobrak kebohongan demi kebohongan dan menyibak rahasia-rahasia yang kita sembunyikan dari satu sama lain, bahkan dari diri kita sendiri.
Aku menikmati tiap derap langkah kaki kecilku. Semakin aku melaju, semakin diriku maju. Denganmu, semuanya terasa nyata. Denganmu, mimpiku hanyalah realitas yang belum menetas. Denganmu, aku tidak takut apapun lagi. Denganmu, telah kutemukan diriku sendiri. Apa yang kucari. Apa yang kudamba. Apa yang ingin kubawa pulang. Aku menyukai perjalanan mengenalimu, karena bersamaan dengan itu, aku mengenali diriku sendiri. Sebagaimana kamu yang beranjak menemukan dirimu sendiri.
Tidak pernah ada penjelasan logis dan sistematis mengenai ini. Itukah kamu, yang tabah membimbingku hingga kutemukan seutas nyawa yang tersesat dalam ragaku sendiri? Benarkah sejiwa dibelah dua itu memang terjadi? Dirimukah sepotong jiwa yang pas berhimpit dan melengkapi ruang dalam diriku? Karena keutuhan itu, kedamaian itu, keyakinan atas dua dunia yang ternyata satu tanpa kita harus berusaha untuk bersama, mereka betulan ada. Aku dan kamu terlahir satu, walau dalam raga yang berbeda.
Satu kenyataan pahit, kita tidak melangkah bersama. Kita hanya berada dalam satu jalur yang sama. Namun, tanpa bisa kubohongi, itu adalah hal paling indah yang pernah kuketahui, yang pernah kualami dan yang pernah kumaknai di seantero alam raya yang fana ini.
Sampai tiba-tiba aku menyadarinya, perasaan seindah itu tidak punya kekuatan istimewa untuk meluruskan tikungan demi tikungan, tanjakan, jalan menurun yang curam, apalagi memaksakan kita untuk tidak berpisah di percabangan jalan manapun.
Ada kalanya kamu berbelok sendiri. Ada kalanya aku harus terus menapaki bumi tanpamu. Kalau beruntung, sekali-sekali aku akan secara tidak sengaja menemukanmu lagi. Yang berarti aku harus melepasmu lagi pada waktu yang tidak ditentukan.
Dan saat itulah aku tidak mengenalimu lagi. Saat itulah kita tidak saling kenal.
Aku mungkin memahami alasanmu untuk pergi. Pergi kemanapun yang sama sekali tidak ada aku di dalamnya. Aku terlanjur mengenali setiap sel dalam otakmu, hingga terlalu mudah bagiku untuk menebak apa yang kamu pikirkan. Tidak apa-apa, aku sangat mengerti. Tapi satu hal yang tidak pernah kukatakan padamu, mengerti belum tentu sama dengan menyetujui. Karena disana, di saat kamu menggerakkan segenap rangka di ragamu untuk melangkah, aku tertinggal dengan sejenis perasaan yang sama sekali tidak indah. Perasaan yang membuatku tersungkur karena beban berat menimpa kedua pundakku. Membunyikan dua gong tepat di hadapan sepasang telingaku. Menghimpitku dengan dinding beton setinggi pencakar langit. Sesuatu yang aku harap tidak terjadi padamu.
Aku melihat segalanya disana. Punggungmu yang kian menjauh. Kakimu yang melangkah pergi. Bayanganmu yang ditelan bulatnya bumi.
Kalau saja ada satu rengekan, sergahan, permintaan, atau apapun yang membuat kita menghambur dan kembali pulang, kita mungkin akan saling kenal lagi. Tapi tidak ada. Karena telingamu tuli, dan aku menjadi bisu tiap kali ingin mencegahmu pergi. Dirimu buta, dan di pipiku hanya ada air mata yang tidak akan kamu lihat sama sekali. Kita kehilangan kemampuan menerjemahkan perasaan masing-masing dan menyampaikan betapa tidak adilnya ini semua.
Ketika itulah kita kembali menjadi orang asing.
Hari demi hari aku akan baik-baik saja, ini bukan kebohongan. Kamu akan menjadi bagian bayang-bayang yang tersisa di pagi hariku. Kamu akan menjelma rumus dan teori yang melekat di kepalaku sepanjang waktu walau kadang aku tidak sadar kamu ada disana. Kamu akan berganti dari sesosok manusia menjadi berlembar-lembar doa yang kukirim. Kamu akan menjadi sepenggal cerita yang bahkan tidak kuingat nyata atau tidaknya. Kamu akan selalu ada dalam tokoh-tokoh khayalan yang ingin aku temui. Karena kamu, satu yang menggenapi. Meninggalkanku dengan sensasi ganjil tanpa aku bisa melakukan apa-apa selain merasakannya.
Yang kamu tidak pernah tahu, tanpamu, aku bilangan minus tak terhingga. Tanpamu, aku aksara tanpa makna. Tanpamu, aku sebelah paru-paru yang bernapas sendiri. Tanpamu, mimpiku sebatas lamunan di siang hari. Tanpamu, segalanya adalah ilusi. Sisanya fana.
Akan ada satu waktu ketika aku memandang ke satu titik, lalu memikirkan apa saja yang mungkin terjadi kalau saja kamu masih disini. Di sampingku. Di jalan yang aku tempuh pelan-pelan karena hampir habis dayaku. Tapi kamu tidak pernah tahu, perjalanan panjang ini terasa semakin panjang. Kuhitung hari, pekan, bulan, tahun, hingga aku terlalu letih melingkarkan tanggal demi tanggal sebagai tanda pencapaianku bertahan dalam sehari. Dalam kehilangan yang menyakitkan.
Akan kuingat kata demi kata, inci demi inci, gelombang demi gelombang. Aku berlari menuju kemanapun arah membawaku, berharap ia mengarahkanku kembali pada keutuhan yang kita ciptakan. Melingkari bumi yang bulat ini. Membodoh-bodohi jalan yang hanya dibagi dua lalu kelak bertemu lagi di satu titik. Memulai segalanya kembali dari nol.
Aku ingin berkenalan denganmu seribu kali lagi.
0 comments:
Posting Komentar